Senin, 01 Desember 2008

PERMASALAHAN YANG TERJADI PADA HUTAN LINDUNG DI KALIMANTAN

Sudah lama Indonesia mendapat sorotan dunia internasional atas pengelolaan hutan yang tidak memperhitungkan faktor kelestarian fungsi hutan. Pemerintah Orde Baru mengeksploitasi hutan secara besar-besaran untuk membiayai pembangunan. Perusahaan perkayuan yang kemudian bermunculan tanpa kendali, juga membabat hutan secara besar-besaran untuk memenuhi bahan bakunya. Kondisi itu mendorong munculnya illegal logging (pembalakan liar) hingga kini. Kondisi tersebut masih diperparah dengan maraknya usaha pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan.
Data Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan, total jumlah lahan potensal kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis mencapai 813.367 hektar dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Selatan 3.753.051 hektar. Menurut Gubernur Kalsel dalam ekspose hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, pada 2001 daerah berhutan d Kalsel masih 987.041,14 hektar. Satu tahun kemudian tinggal 935.900 hektar, hilang 51.141 hektar per tahun atau 140 hektar per hari.
Angka di atas baru terjadi di Kalimantan Selatan, belum lagi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Daerah tersebut juga tidak lepas dari perambahan maupun alih fungsi hutan menjadi kawasan pertambangan atau perkebunan yang tidak terkontrol. Begitu pula dalam soal perambahan hutan. Di Kalimantan Barat cukong-cukong membabat hutan yang berbatasan dengan Serawak. Sedangkan di Kalimantan Tenggah, kayu di kawasan hutan lindung pun digasak penjarah.
Kerusakan sumber daya hutan mengakibatkan kerusakan lingkungan di wilayah Kalimantan Selatan saat ini sangat parah, hal ini terbukti dengan meningkatnya intensitas terjadinya banjir, yang rata-rata terjadi setiap tahun. Jumlah gas karbon dioksida (CO2) meningkat rata-rata mencapai 0,4 % per tahun. Gara-garanya, karena pembakaran bahan bakar fosil dan hutan gundul yang tak mampu menyerap CO2 dalam reaksi fotosintesis.
Gerakan rehabilitasi hutan dan lahan memang dilakukan, namun hasilnya belum mampu menutupi kerusakan sumberdaya hutan yang ada. Karena gerakan rehabilitasi hutan dan lahan kalah cepat dengan kerusakan sumberdaya hutan. Apalagi Pegunungan Meratus yang jelas-jelas merupakan kawasan hutan lindung yang fungsinya sebagai kawasan penyangga kehidupan di Kalimantan Selatan sudah dirambah oleh penambang batubara baik legal maupun ilegal, yang memberikan andil cukup besar bagi kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan.
Hal diatas tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, harus ada upaya pembenahan yang signifikan agar dimasa depan hutan di Kalimantan dapat tertata baik. Pembenahan hutan Kalimantan harus mengikuti kebijakan yang berintikan:
1) Kebijakan ekonomi, dimana sumberdaya hutan sebagai penggerak utama pembangunan,
2) Kebijakan sosial dan pendekatan kesejahteraan, dimana kehutanan diharapkan mampu mengantisipasi permasalahan angkatan kerja,
3) Kebijakan lingkungan atau konservasi, dimana hutan sebagai faktor penentu keseimbangan lingkungan.
Jumlah kawasan hutan yang ditetapkan sebesar 36,08 % memang kelihatannya logis tapi yang kita butuhkan peranan fungsi dari kawasan hutan tersebut. Artinya kawasan seluas 36,08 % tersebut betul-betul ditutupi oleh hutan, dan kawasan hutan lindung terletak daerah kunci dengan fungsi utama adalah fungsi hidro-orologis, penyerapan CO2 sebagai pengurangan emisi gas karbon dioksida dan pensuplai oksigen yang memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem. Keberadaan ekosistem ini dibutuhkan oleh kehidupan manusia di bumi.
Negara Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau ini memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan, serta jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangga. Hal ini terjadi karena keadaan alam yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat didalamnya.
Sumber daya hayati yang paling banyak dieksploitasi pemanfaatannya adalah sumber daya yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan yang terletak di dataran rendah. Dari segi ekonomi memang ekosistem hutan semacam inilah yang dapat mendatangkan keuntungan terbesar karena mengandung kekayaan paling tinggi yang disebabkan oleh adanya keanekaragaman hayati yang terbesar pula. Lagipula bagian terbesar hutan-hutan Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropik yang terletak di dataran rendah itu. Di dalam hutan semacam ini tumbuh berbagai jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi.
Secara internasional hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan dianggap signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu, sebagai sumber keragaman hayati dunia hutan Indonesia telah menjadi perhatian untuk dipertahankan keberadaan dan tingkat mega biodiversity, yang memiliki 10 % tumbuhan berbunga di dunia, 17 % spesies burung, 12 % satwa mamalia, 16 % satwa reptilia, dan 16 % spesies amphibia, dari populasi dunia. Oleh karena itu, pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi kemampuan hutannya menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal, nasional, maupun regional, bahkan internasional.
Pengelolaan hutan yang profesional dan terencana dibutuhkan, terutama untuk daerah yang rentan terhadap terjadinya degradasi lahan dan lingkungan. Selama 3 dekade, sektor kehutanan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi bangsa, dan telah memberikan dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja, perolehan devisa, dan pengembangan wilayah. Pengelolaan hutan di masa lalu banyak kekurangan. Dinamika pembangunan masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu yang berlebihan. Terbukti oleh kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan pasok kayu lestari. Kekecewaan terhadap sistem pengusahaan hutan telah menimbulkan berbagai permasalahaan di beberapa daerah yang berdampak terhadap degredasi hutan. Selama 5 tahun terakhir, laju degradasi lahan dan lingkungan diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun. Berdasarkan citra satelit 1995 - 1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432 HPH mencapai 14,2 juta Ha, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan konservasi mencapai 5.9 juta Ha.
Kerusakan tersebut, disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, penebangan liar, perambahan hutan, dan pembukaan hutan skala besar serta kebakaran hutan. Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu Ada 2 hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab dari kerusakan hutan. Yang pertama adalah adanya hak penguasaan hutan yang kita ketahui tidak lagi berjalan secara prosedural. Dalam artian instansi-instansi yang mendapat hak penguasaan hutan atau HPH, tidak lagi mematuhi peraturan dalam pengelolaan hutan mereka. Sedangkan yang kedua adalah penambangan-penambangan di kawasan hutan lindung yang sampai saat ini mengalami kontroversi karena banyak investor yang merasa tertipu karena mereka sudah terlanjur menanamkan investasi mereka untuk penambangan sedangkan di Indonesia sendiri baru saja dikeeluarkan UU No 41/1999 yang melarang adanya penambangan di daerah konservasi.
Kawasan lain yang bermasalah adalah Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang memiliki beberapa permasalahan yang mengancam kelestariannya baik fungsi ekologis maupun keberadaan ekosistem. Masalah-masalah utama antara lain : kebakaran hutan, pembalakan kayu ilegal, perambahan kawasan, dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan terdapatnya areal hutan pada kawasan tersebut merupakan areal terbuka yang ditumbuhi alang-alang yang menjadi sumber kerawanan kebakaran hutan pada saat musim kering yang akan meluaskan daerah terbuka di kawasan hutan Tahura Bukit Soeharto. Selain itu kandungan bahan tambang berupa batubara yang ada di dalam lapisan tanahnya menyebabkan beberapa lokasi menyimpan potensi kebakaran yang cukup sulit untuk dikendalikan.
Keberadaan areal-areal terbuka tersebut juga menyebabkan beberapa fungsi ekologis Taman Hutan Raya Bukit Soeharto terganggu. Salah satunya sebagai daerah tangkapan air yang mengatur alirannya ke sub daerah aliran sungai (Sub DAS) Semboja yang mempengaruhi pula aliran air ke daerah aliran sungai (DAS) Mahakam. Hal ini dapat mengakibatkan debit air yang masuk ke sungai terlalu besar dan sungai akan meluap. Inilah yang membuat banjir di daerah Kalimantan sulit untuk ditanggulangi, karena permasalahannya sangatlah pelik.
Dalam kebijaksanaan penataan ruang yang tertuang dalam Pola Dasar Pembangunan Kota Balikpapan disebutkan bahwa arah kebijaksanaan pokok tentang pemanfaatan ruang, sesuai dengan kondisi fisik wilayah dan sosial ekonomi masyarakat Balikpapan, berasaskan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna mewujudkan keterkaitan keseimbangan antar wilayah. Kebijaksanaan lain menetapkan hutan lindung/kawasan lindung sebagai daerah konservasi lahan kritis yang didasarkan pada kelestarian lingkungan.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan kemampuan lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang karena keadaan dan sifat-sifat wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan guna kepentingan hidro-orologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan kesuburan tanah. Faktor-faktor yang diperhatikan dan diperhitungkan di dalam penetapan perlunya hutan lindung di dalam satu wilayah adalah lereng lapangan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan intensitas hujan dari wilayah yang bersangkutan.
Masih di Kalimantan Timur, hutan lindung sungai Wain adalah hutan dataran rendah di Kalimantan Timur sekitar 15 kilometer sebelah utara Balikpapan. Kawasan hutan ini mulai ditetapkan sebagai hutan tutupan oleh Sultan dari kerajaan Kutai tahun 1934. Kemudian pada tahun 1983 area di dalam Sungai Wain seluas 3.925 Ha dinyatakan sebagai hutan lindung oleh Menteri Pertanian. Pada tahun 1988 Menteri Kehutanan menunjuk area lainnya di sungai Wain yaitu seluas 6.100 Ha sebagai hutan lindung sehingga secara keseluruhan luas hutan lindung Sungai Wain yang ditunjuk sebagai hutan lindung adalah 10.025 Ha.
Dalam pengolahan hutan lindung/kawasan lindung indikasi penyimpangan dan pemanfaatan lahan yang terjadi di wilayah kota Balikpapan, tidak saja terjadi di sektor kawasan kota dan sepanjang jalur pergerakan utama kota atau pada kawasan budidaya akan tetapi juga terjadi pada kawasan hinterland kota khususnya pada kawasan budidaya. Hal tersebut terjadi pada sebagian kawasan hutan lindung daerah kota Balikpapan. Baik hutan lindung Sungai Wain maupun hutan lindung DAS Manggar. Di kedua kawasan ini mengalami perambahan dan penebangan liar oleh kelompok masyarakat, hal tersebut dikhawatirkan akan terus merosot kualitas dan daya dukungnya jika tidak segera diamankan untuk kepentingan bersama.
Hutan lindung Manggar (DAS) terletak pada koordinat 116° 52' 00' - 166° 56' 00' Bujur Timur dan 01° 05' - 01° 12' 00' Lintang Selatan membentang dan berbatasan dengan tepi jalan sepanjang jalur Soekarno - Hatta dari Km.20 hingga kilometer 25 yang juga merupakan jalur utama transportasi darat Balikpapan ke Samarinda. Sedangkan secara administratif hutan lindung DAS Manggar terletak pada wilayah Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara.
Luas hutan Manggar (DAS) berdasarkan SK Menteri Kehutanan seluas 4.999 Ha atau 9,8% dari wilayah Kota Balikpapan dari luas wilayah Kota Balikpapan secara keseluruhan. Berdasarkan laporan tim penelitian dari Penyusunan Renacana Pendapatan Hutan Lindung Sei Manggar dan Sungai Wain sebagai sumber air baku PDAM Balikpapan dan Pertamina. Sedangkan jumlah penduduk yang bermukin di Sei Manggar kurang lebih 400 KK yang bermukim. Pada umumnya mata pencaharian penduduk yang bermukim di kawasan hutan lindung kawasan Manggar (DAS) adalah bertani (sawah,ladang) dan berkebun (kebun campuran).
Berdasarkan kebijaksanaan yang tertuang di dalam Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan, peruntukan lokasi perencanaan adalah sebagai hutan lindung yang berfungsi selain untuk melestarikan sumber daya ada juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi kebutuhan air baku PDAM dan sebagai daerah penyangga kota Balikpapan. Namun hasil pengamatan di lapangan saat ini pada kawasan hutan lindung tersebut telah terdapat pemukiman penduduk, kawasn pertanian, perkebunan dan peternakan serta penambahan dan penambangan liar yang terus berlangsung, akan menyebabkan peralihan fungsi pada kawasan tersebut.
Berdasarkan hasil survey dari invetarisasi yang dilakukan oleh Sub BIPHUT Balikpapan dapat disimpulkan kondisi hutan lindung DAS Manggar yang potensial sudah tidak ada, hanya yang masih tampak adalah seperti semak dan belukar dan pada ilalang. Hal ini disebabkan adanya kegiatan perladangan yang dilakukan masyarakt setempat secara liar. Untuk lebih jelasnya pemanfaatan lahan dapat dilihat pada tabel berikut ini
No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) %
1. Pemukiman 12,74 0,25
2. Sawah 3,92 0,07
3. Tegalan/Ladang 111,72 2,23
4. Perkebunan 23,52 0,47
5. Kebun Campuran 86,24 1,72
6. Alang-alang 598,88 11,98
7. Semak Belukar 3.618,65 72,38
8. Penghijauan 125,44 2,50
9. Daerah Genangan 319,62 6,29
10. Taman 13,72 0,27
Total 4.913,45 100
Sumber : Tim Penelitian Unmul Samarinda

Hutan Lindung Sungai Wain terletak di Kalimantan Timur, arah timur laut Balikpapan, antara Km.15-24 dekat jalan utama dari Balikpapan menuju Samarinda (166° - 01° 10' LS). Kawasan ini mencakup areal seluas 10.025 Ha. Hutan lindung Sungai Wain dibatasi oleh lokasi hutan PT INHUTANI I Batu Ampar disebelah utara. Batas sebelah barat kira-kira berhubungan dengan Selat Sulawesi dan dibatasi dengan hutan Mangrove (Bakau) yang tidak dilindungi. Di sebelah Selatan dan bagian Timur kawasan cadangan hayat ini dibatasi oleh lahan pertanian berskala kecil. Pada batas sebelah timur laut dibatasi oleh jalan utama dari Balikpapapn menuju Samarinda antara Km.20 - 24 dengan jarak sepanjang 4 Km.
Kedudukan geografis, karakteristik geologis, kelangkaan daerah dengan tipe-tipe hutan yang berbeda dan wilayah disekitarnya yang berkaitan dengan sejumlah nilai-nilai serta fungsi hutan lindung Sungai Wain (HL Sungai Wain). Nilai-nilai tersebut meliputi aspek ekonomi, sosial, pelestarian (konsevasi) dan aspek ilimiah. Berdasarkan hasil survey Departemen Kehutanan dan Tropenbos Kalimantan Proyek Wanariset Samboja terhadap hutan lindung Sungai Wain bahwa pemanfaatan lahannya adalah sebagai berikut.
Pemanfaatan Lahan Luas (Ha) %
Hutan Primer 5000,47 49,88
Beluber Rawa 430,74 42,97
Belukar rawa 501,00 5,00
Hutan Mangrove 29,79 0,29
Ladang 186,00 1,08
Total 10,025,00 100,00
Sumber: Dephut - Wanariset Samboja

Berdasarkan dari tabel tersebut di atas yang menduduki urutan yang masih utama adalah hutan primer, belukar bebas ladang, masing-masing mendapat 49% dan 42%, sedangkan hutan mangrove untuk hutan lindung Sungai Wan yang terdapat di tabel tersebut sangat sedikit, tapi hal ini disebabkan oleh perambahan/penebangan liar khususnya pada kawasan Sungai Wain Kiri dan Kanan dan terdapat pula banyaknya petambak-petambak liar mungkin ini menyebabkan hutan mangrove (bakau) hanya 0,29% dari jumlah keseluruhan luas hutan lindung Sungai Wain
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka upaya memaksimalkan fungsi kawasan hutan lindung DAS Manggar, tercermin beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Terjadinya perambahan dan okurasi dan pengalihan fungsi lahan oleh masyarakat, sebagian dialihkan untuk lahan perkebunan, pertanian dan peternakan.
2. Belum ada batas penegasan hutan lindung dan kawasan penyangga (buffer zone) secara fisik di lapangan, serta masyarakat belum tahu persis keberadaan fungsi hutan lindung tersebut
3. Belum ada jalan inspeksi dan masyarakat yang bermukim di sana berbatasan langsung dengan hutan lindung, jalan inspeksi tersebut untuk pengawasan dan pengendalian, karena penduduk yang berada di tempat tersebut secara sporadis sehingga akan rawan kebakaran hutannya
4. Akibat musim hujan erosi terjadi dilihat dari aliran permukaan (run off). Pada musim kemarau lahan dikawasan tersebut kering dan rawan akan kebakaran hutan.

Secara de fakto, pengelolaan kawasan hutan lindung di Indonesia telah menjadi kewenangan pemerintah daerah pasca dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 62 tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang K ehutanan kepada daerah, dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Implikasi logisnya adalah bahwa segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan hu tan, baik Hutan Produksi, Tahura maupun Hutan Lindung, adalah menjadi tanggung jawab pem erintah daerah termasuk yang menyangkut dana pengelolaan yang harus dianggarkan sendiri oleh daerah.
Adapun kawasan hutan pada Provinsi Kalimantan Timur yang kurang lebih sebesar 75 % dari luas total provinsi sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 79/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret 2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan pada Propinsi Kalimantan Timur seluas 14.651.553 hektar, kawasan hutannya terbagi berdasarkan fungsi hutan yang terdiri dari :
a. Kawasan Hutan Konservasi atau Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebesar 2.165.198 ha.
b. Hutan Lindung (HL) sebesar 2.751.702 ha.
c. Hutan Produksi (HP) sebesar 5.121.688 ha.
d. Hutan Produksi Terbatas (HPT) sebesar 4.612.965 ha.
Dari segi luasan, kawasan hutan lindung tersebut mencakup areal lebih kurang 2,7 juta hektar, namun seperti halnya kawasan hutan yang lain (hutan produksi dan konservasi), sebagian besar kawasan hutan lindung juga mengalami kerusakan sebagai akibat dari kegiatan pencurian kayu (illegal logging), perambahan oleh masyarakat, kebakaran hutan termasuk pencurian dan perburuan satwa liar baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Data BPDAS Mahakam Berau berdasarkan intepretasi citra satelit menunjukkan bahwa kerusakan hutan Kaltim mencapai 6,4 juta hektar tahun 2004 terdiri dari 4,3 juta hektar di dalam kawasan hutan dan 2,1 juta hektar di luar kawasan hutan. Laju kerusakan hutan Kaltim 290 ribu hektar per tahun.






DAFTAR PUSTAKA
1. http://siklusits.tripod.com/hutan.htm
2. Laporan Yayasan Hijau Biru tentang Kawasan Hutan Lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur, November 2008.
3. Education’s Corner, Membenahi Hutan Kalimantan 6 April 2008.
4. Bahan Rakortas, Pengelolaan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, Desember 2007.
5. Laporan Penelitian oleh Tim Penelitian Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda.
6. Departemen Kehutanan – Riset untuk Daerah Aliran Sungai Wanariset Sambaja Kalimantan Timur.
7. Kaltim Post, Sekilas Hutan Kalimantan Timur, 18 Maret 2006.



---------------------- o 0 o -----------------------

herman.pamuji@ui.ac.id
e_dark_eagle@yahoo.co.id
http://kaisars08.blogspot.com


@_@