Sabtu, 30 Agustus 2008

Tak Pernah Ada Demokrasi di AS

Penulis esei asal AS, Gore Vidal mengatakan, klaim AS bahwa mereka sedang menerapkan demokrasi untuk membuat dunia lebih aman, cuma omong kosong belaka. Karena di AS sendiri, kata Vidal, tidak ada demokrasi.

Dalam wawancara dengan televisi Iran Press TV, Vidal menyatakan bahwa AS tidak pernah punya demokrasi dan kata demokrasi tidak pernah digunakan dalam konsitusi, Bill of Rights maupun dalam Deklarasi Kemerdekaan Negeri Paman Sam itu.

Menurut Vidal, Amerika sebenarnya sudah jatuh ke sekumpulan orang yang hanya hanya peduli untuk menjadi yang paling dominan di dunia dan mendapatkan uang dari pajak-pajak yang dibayarkan oleh rakyat AS, dengan cara mengobarkan perang.

Penulis esei yang cukup disegani di AS itu menilai, konvensi nasional Partai Demokrat sebenarnya simbol dari jatuhnya sebuah imperium yang dibalut oleh kampanye-kampanye, yang tidal lebih sebagai hiburan mahal belaka. AS sekarang ini, kata Vidal, terlibat dalam berbagai peperangan yang berlebihan dan tidak punya anggaran lagi untuk membiayai perang-perang itu.

Vidal juga mengatakan, AS kemungkinan besar akan terlibat perang baru dengan Iran, jika yang terpilih menjadi presiden AS adalah John McCain, orang yang oleh Vidal disebut sebagai orang yang memang menginginkan perang itu terjadi. 

Kamis, 28 Agustus 2008

Polemik UMB & SNMPTN : Elite yang Bertikai, Masyarakat yang Terbengkalai...

Berbicara mengenai pendidikan, khususnya Pendidikan Tinggi tidak hanya berbicara mengenai Biayanya yang terjangkau, dan kualitasnya yang baik. Setidaknya ada point ketiga yang tidak kalah pentingnya, yakni aksesisbilatasnya. Di sini kita berbicara mengenai kemudahan mengikuti proses penyeleksiannya yang murah, nyaman, dan tidak berbelit-belit tanpa perlu kehilangan kualitas parameter penyeleksiannya (kualitas soalnya).

Konflik yang terjadi antara beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se-Indonesia dengan Perhimpunan Panitia SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) beberapa bulan yang lalu rupanya belum sepenuhnya selesai. Pertemuan di Bali yang difasilitasi oleh Departemen Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) yang dalam hal ini diwakili oleh dirjen Dikti (Pendidikan Tinggi) Faslih Djalal, rupanya belum benar-benar membuahkan solusi yang memuaskan semua pihak. Bahkan berpotensi menjadi masalah yang lebih besar lagi jika tidak diseleseaikan secara bijak.

Ambiguitas pemicu Konflik

Konflik ini, berdasarkan berita yang dimuat di KOMPAS (13 Maret 2008) diawali dari kekhawatiran sebagian besar Rektor PTN (41 PTN) peserta SPMB terhadap sistem keuangan SPMB yang sudah bertahun-tahun menerapkan system non PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Padahal, menurut persatuan PTN-PTN yang dikoordinatori oleh UNAIR (Universitas Airlangga, Surabaya) tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan no.115 tahun 2001 pemerintah telah memasukkan sektor pendidikan, khususnya penyelenggaraan ujian masuk ke Perguruan Tinggi negeri ke dalam PNBP.

PTN-PTN tersebut sebenarnya lebih memilih agar SPMB dimasukkan sebagai non PNBP karena penyelenggaraannya yang selama ini tidak meilbatkan Pemerintah secara langsung. Sehingga pengelolaan keuangannya dianggap wajar jika dilakukan secara swa kelola. Seperti yang diungkapkan Rektor UNAIR, Fasichulisan kepada detiksurabaya. com. Namun tampaknya keberanian PTN-PTN tersebut masih kurang untuk menuntut pemerintah mengubah peraturan dan memasukkan SPMB ke dalam non PNBP. Selain itu BPK yang saat ini sedang giat-giatnya “mencari mangsa” membuat para Rektor itu semakin khawatir akan adanya anggapan penyelewengan secara berjamaah selama bertahun-tahun ini.

Jikalau memang hanya karena perbedaan pemahaman terhadap SK Menkeu tersebut yang menjadi satu-satunya alasan keluarnya 41 PTN tersebut dari SPMB, nampaknya ada yang janggal dalam hal ini. Meskipun hal tersebut memang cukup beralasan. Pasalnya , SK tersebut telah lahir sejak 7 tahun yang lalu, dan selama itu pula SPMB telah terselenggara dengan lancarnya. Agaknya aneh jika hal ini disadari dan diributkan baru-baru ini saja. Bukankah dari awal seluruh PTN yang tergabung dalam SPMB telah bersepakat untuk menyelenggarakan ujian masuk yang bersifat swa kelola dengan membentuk organisasi tetap yang berpusat di Jakarta ?

Ada dua alasan lainnya yang menurut analisa penulis juga menjadi pemicu dari konflik yang terjadi, namun tidak banyak terekspose secara eksplisit di media massa . Pertama adalah kekhawatiran PTN-PTN tersebut terhadap kemungkinan dianggapnya pelaksanaan SPMB ini sebagai tindakan korupsi secara berjama’ah oleh BPK. Hal ini terungkap dalam diskusi informal yang penulis dan beberapa teman dari Mahasiswa UI lakukan bersama Dirjen Dikti, Faslih Djalal, di Jakarta pada tanggal 20 Mei yang lalu. Kedua, adanya anggapan dari panitia lokal terhadap ketidaktransparanan pengelolaan keuangan oleh panitia pusat. Hal ini juga pernah sempat mencuat di beberapa media massa yang mengangkat isu ini sebelum akhirnya masalah PNBP dan non PNBP dijadikan fokus utama pemicu konflik tersebut.

Permasalahan perbedaan pandangan terkait PNBP/non PNBP, kekhawatiran terhadap BPK, hingga ketidaktransparanan Pengelolaan keuangan oleh panitia pusat adalah permasalahan yang hanya berlaku pada tataran elit (dalam hal ini Paguyuban Rektor Se-Indonesia dan Panitia Penyelenggara SPMB. Dan jika kita perhatikan semuanya it’s all about the money, hanya permasalahan keuangan. Rasanya kurang bijak kalau alasan-alasan tersebut dijadikan alasan bubarnya SPMB yang telah establish selama 7 tahun. Bukannya berarti SPMB itu “suci” sehingga tidak mungkin berganti/bubar. Tetapi permasalahannya yang terjadi adalah keputusan yang diambil saat itu tampak tergesa-gesa dan reaktif, dan tidak mempertimbangkan efek psikologis yang akan berkembang di masyarakat nantinya.

SNMPTN, UMB, dan Aksesibilitasnya

Pertemuan Paguyuban Rektor di Bali yang difasilitasi oleh Dikti sesungguhnya hanya menunjukkan betapa masing-masing pihak tidak mampu memanage egonya masing-masing dan mengedepankan solusi dengan ‘kepala dingin’, sehingga membutuhkan pihak ketiga (dalam hal ini Dikti) sebagai penengah. Hal tersebut juga sebenarnya menunjukkan betapa tidak percaya dirinya para PTN tersebut dengan status Otonomi kampus, khususnya para PTBHMN. Seharusnya para Rektor PTN/PTBHMN dan Panitia Penyelenggara SPMB tersebut bisa duduk bareng tanpa kehadiran pemerintah sebagai penengah di dalamnya. Jika mental PTN/PTBHMN masih terus seperti itu bagaimana mungkin mereka siap menyambut status BHP yang saat ini masih sedang dibahas di DPR.

Buktinya adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tidak bisa memuaskan semua pihak. UI dan 4 PTN lainnya (UIN, UNJ, USU, dan UNHAS) adalah pihak yang tidak puas dengan keputusan itu, dan menyelenggarakan Ujian Masuk Bersama (UMB) sebagai bentuk ketidak puasan tersebut.. Alasannya UI ingin menjaga kualitas Mahasiswa yang masuk. Rektor UI, Gumilar Rusliwa Somantri, dalam sebuah kesempatan di acara ‘NgoBar (Ngobrol Bareng)’ Mahasiswa UI dan Rektorat (di mana penulis juga menjadi salah satu narasumbernya) mengungkapkan bahwa UMB nantinya akan dijalankan dengan sistem SPMB yang lama, sehingga akan lebih siap dalam menyelenggarakan ujian.

Lahirnya UMB, sebagaimana bisa dibayangkan sebelumnya, telah menimbulkan reaksi keras dari Mahasiswa-mahasiswa UI. Mereka menuntut UMB dan SNMPTN disatukan kembali menjadi SPMB. Pasalnya para mahasiswa mempermasalahkan aksesibilatas yang sangat rendah bagi calon mahasiswa yang berasal dari daerah dan pelosok-pelosok pedalaman. Banyak calon-calon mahaiswa yang berkualitas secara intelektual namun terbatas secara finansial dan geografis untuk menjangkau tempat ujian. Alih-alih berkuliah di UI dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan mereka, untuk mengikuti ujian saja mereka telah dipupus harapannya dengan akses yang sulit.

Jaminan Perlakuan yang sama terhadap jalur UMB dengan jalur regular lainnya (SNMPTN dan PPKB) dalam hal biaya kuliah dan sistem pendidikan tidaklah cukup memuaskan bagi Mahasiswa-mahasiswa UI yang menolak UMB dan SNMPTN tersebut. Aksesibilatas yang seluas-luasnya (minimal seluas jangkauan SPMB) dan Informasi yang valid dan massif menjadi harga mati bagi para mahasiswa tersebut.

Hilangkan Ego, Dahulukan kepentingan Masyarakat.

Nampaknya memang hampir menjadi budaya di negeri ini menjadikan masyarakat sebagai korban atas pertikaian dikalangan elit. Para Rektor PTN/PTBHMN yang bisa jadi merupakan representatif wajah pendidikan tinggi negeri ini seharusnya menjadi contoh yang baik dengan menghindarkan hal tersebut dan mendahulukan kepentingan masyarakat. Sektor pendidikan seharusnya menghindarkan diri dari ego-ego pribadi yang tidak memperdulikan kepentingan masyarakat luas, khususnya para anak didik.

Untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada sangat dibutuhkan jiwa besar pada setiap pihak terkait untuk meredam egonya masing-masing, duduk bersama kembali mencari dan lebih mengedepankan solusi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Jika permasalahan utmanya adalah PNBP/non PNBP maka dibutuhkan satu hal lagi. Yaitu keberanian untuk menuntut pemerintah mengubah/mencabut SK Menkeu no.115 th.2001 tersebut dan memasukkan sektor pendidikan sebagai non PNBP.

Jika melihat mekanisme PNBP yang berbelit-belit birokrasinya sebenarnya agak merugikan memasukkan Pendidikan kedalam PNBP. Selain birokrasi yang berbelit-belit, PNBP yang mengharuskan adanya mekanisme tender juga berpotensi terjadinya korupsi, serta keprofesionalitasan Panita Penyelenggara yang diperytanyakan karena memungkinkan berganti system dan kepanitiaan tiap tahunnya.

Saya percaya elit-elit pendidikan di Negeri ini masih memiliki jiwa besar dan keberanian untuk lebih mendahulukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan dan egonya masing-masing. Serta mampu menjadi contoh bagi elit-elit negeri ini di sektor lainnya. Semoga.

Rabu, 27 Agustus 2008

ORDE BARU ALA REKTORAT UI

Banyak mahasiwa baru yang terlunta-lunta karena tidak segera bisa menempati asrama. Terutama mereka yang berasal dari luar Jawa – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lain-lain –. Apalagi, mereka yang tidak memiliki sanak saudara, atau bahkan senior waktu SMA yang kuliah di UI.

Jika sebelum-sebelumnya, setelah mahasiswa baru mendaftar ulang, mereka langsung bisa mendapat jatah kamar di asrama. Namun, kali ini berbeda sama sekali. Semua kebijakan dan penjatahan siapa yang berhak tinggal di asrama diserahkan ke mahalum tiap-tiap fakultas. Sehingga, tentu saja, keputusan mereka mendapat hak atau tidak itu, baru keluar bersamaan dengan selesainya proses penilaian berkas-berkas pengajuan keringanan biaya kuliah. Yang itu sendiri, baru selesai sekitar satu minggu dari waktu pendaftaran ulang. Ini menyisakan pertanyaan, di mana mereka (yang di sebut di awal tulisan ini) akan tinggal?

Sejenak mungkin kita bisa menerima alasan rektor(at) mengalihkan wewenang penentuan siapa-siapa saja yang berhak tinggal di asrama dari otorita asrama ke mahalum fakultas. Katanya, dari proses seleksi berkas pengajuan keringanan biaya kuliah, bisa diketahui secara pasti siapa yang paling berhak tinggal di asrama. Intinya, tujuan diadakannya sentralisasi ini, agar seleksi calon penghuni asrama bisa tepat guna. Katanya pula, disinyalir, selama ini, banyak penghuni asrama berasal dari Jabodetabek atau mahasiswa dari keluarga mampu. Sehingga, hal ini dinilai tidak tepat guna dan perlu dibenahi dengan pengalihan wewenang.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah efek kebijakan yang akan dilakukan ini sebanding dengan terlunta-luntanya mahasiswa baru yang tidak punya siapa-siapa di sini? Jawabannya tidak! Bayangkan, mereka yang tidak mampu harus menunggu selama lebih kurang satu minggu untuk mendapat keputusan bisa tinggal di asrama atau tidak. Padahal, seperti kita tahu, tidak ada kos-kosan atau kontrakan yang mau menyewakannya hanya dalam seminggu. Artinya, selama itu pula, harus di mana mereka tinggal? Belum lagi, ternyata terbukti sampai hari ini, tetap saja pengalihan wewenang ini tidak menghasilkan keputusan yang benar-benar tepat. Misalnya, ada mahasiswa baru yang dari sisi apapun dia berhak tinggal di asrama, tetapi dari pihak mahalum fakultas tidak dapat hak itu. Terbukti pengalihan wewenang ini tidak menyelesaikan masalah.

Padahal, jika berbicara masalah tepat guna atau tidak, sebenarnya di asrama akan terjadi proses seleksi alam dengan sendirinya. Artinya, jika mereka yang memaksa tinggal di sana adalah anak dari keluarga mampu, seiring berjalannya waktu, mereka tidak akan kerasan juga, dan akhirnya memilih keluar dan tinggal di tempat yang lebih cocok sesuai dengan kebiasaan di rumahnya. Jadi, tidak perlu dengan mengadakan sentralisasi kewenangan seperti itu. Toh, efeknya jauh lebih menyulitkan, tidak hanya bagi mahasiswa baru, tetapi juga untuk keluarga atau tamu yang akan menyewa kamar di asrama. Dan, toh, selama ini juga tidak ada masalah dengan koordinasi yang dilakukan oleh otorita asrama sendiri dalam hal penentuan dan pembagian calon penghuni kamar asrama. Kesulitan saat ini bermula karena semua bentuk perizinan dan persetujuan dilakukan di rektorat oleh direktur fasilitas umum.

Kita melihat adanya gejala sentralisasi di UI. Kasus asrama hanya satu contoh kasus, selebihnya masih banyak lagi. Apakah ini mengindikasikan UI tengah menerapkan metode Orde Baru di kampus ini? Mari kita awasi bersama-sama.