Kamis, 28 Mei 2009

Melawan Kesombongan dengan Kepolosan

Ada seorang lelaki yang terkenal sangat sombong. Ia memang paling kaya, paling kuat fisiknya dan paling pandai di kotanya. Setiap hari ada saja yang dipamerkannya ke penduduk. Semua warga sering jengkel karena kesombongannya, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka tidak memiliki apa yang dimiliki pemuda itu.

Suatu hari, sang lelaki membangun sebuah panggung di tengah-tengah kota. Lalu dia berteriak dengan lantang,
“Hai semuanya, aku menantang kalian semua. Jika ada di antara kalian yang mampu mengalahkan kepandaianku, akan kuberikan seluruh hartaku.”

Warga yang menyaksikan hanya diam, ada yang geleng-geleng kepala, ada yang memandang sinis, ada juga yang tak mempedulikannya.
Lalu…seorang anak kecil mendadak naik ke atas panggung. Sang lelaki pun tertawa terbahak-bahak,
“Hanya seorang anak kecil? Hahaha…ini sangatlah mudah. Tak kusangka tak ada di antara kalian yang berani.”

Pemandangan yang menarik ini membuat semakin banyak warga yang berkumpul. Penasaran mau apa anak kecil itu.

“Siapa namamu, nak?” tanya lelaki itu.

“Husein” jawab sang anak.

“Jadi apa yang kau miliki yang menurutmu bisa mengalahkan aku?” tanya lelaki itu.

“Tidak ada. Keluargaku tidak kaya, badanku juga tak sekuat dirimu. Dan aku juga tak sekolah. Hanya orangtuakulah yang mengajarkan segala kebajikan.”

“Hahahaha… Begitu..lalu mengapa kau naik ke atas sini?”

“Aku hanya ingin bertanya.”

“Oya? Apa yang mau kau tanyakan?”

“Apa kau memiliki banyak emas?”

“Hahaha..tentu saja. Jika mau bisa kubeli seluruh rumah disini.”

“Apa ada yang tidak bisa kau beli?”

“Semua bisa aku beli. Tak ada satupun yang tak bisa kubeli.”

“Jika Allah menjual udara yang kau hirup, apa kau mampu membelinya?”

Sang lelaki terkejut..tak menyangka si bocah bertanya seperti itu. Ia tidak bisa menjawab. Hanya diam. Warga yang menyaksikan mulai sedikit ribut, beberapa malah menertawakannya.
Sang anak kecil tak menunggu jawaban lelaki itu.

“Apa kau lebih kuat dari seekor singa?”

“Tentu saja. Aku pernah membunuh seekor singa dengan tangan kosong.”

“Apa kau lebih kuat dari seekor gajah?”

“Tentu saja. Aku pernah membunuhnya hanya dengan sekali memanah.”

“Apa kau lebih kuat dari Allah yang akan menggulung langit dan menghancurkan bumi saat hari kiamat?”

Sang lelaki terdiam lagi..entah apa dia tak mau menjawab atau tak mampu menjawab. Kerumunan warga semakin ramai. Suara mereka mulai saling bersahutan.
Sang anak kecil tak menunggu jawaban.

“Apa saja ilmu yang kau miliki?”

“Semua telah kupelajari. Aku telah berguru pada banyak orang.”

“Surat Luqman ayat 27 :Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
“Apakah ilmu anda sebanyak lautan?”

Sang lelaki kembali terdiam..
Kerumunan warga bersorak gembira. Akhirnya ada yang mengalahkan kesombongan lelaki itu. Yang tak disangka seorang bocahlah yang mengalahkannya. Dengan tertunduk malu sang lelaki mengakui kekalahannya dan menyerahkan hartanya pada sang bocah. Tetapi sang bocah membaginya kepada semua warga.

Seringkali kesombongan justru dipatahkan oleh sesuatu yang kita anggap remeh. Dan yang paling menyakitkan bagi si sombong adalah bila ia dipermalukan di depan umum oleh orang yang lebih lemah dari dirinya.

Rabu, 27 Mei 2009

Ketika Aktivis Dakwah Jatuh Cinta

SUATU ketika, dalam majelis koordinasi, seorang akhwat berkata kepada mas'ul dakwahnya, "Akhi, ana gak bisa lagi berinteraksi dengan akh Fulan." Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali ia menekan perasaannya. "Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi, dan... Afwan, terus terang juga tersinggung." Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu timbul tenggelam, "ikhwan itu mengatakan... ia jatuh cinta pada ana."

Mas'ul terbut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. "Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan,"

Sang mas'ul mencoba menenangkan, terutama untuk dirinya sendiri.

"Afwan... ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berfikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit-banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen, dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini." Sang akhwat kini mulai tersedak terbata.

"Ya sudah... Ana berharap anti tetap istiqomah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini." Mas'ul itu membuat keputusan, "ana akan ajak bicara langsung akh Fulan."
Beberapa waktu berlalu, ketika akhirnya Mas'ul tersebut mendatangi Fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, "Ana memang menyatakan hal tersebut, tapi apakah itu satu kesalahan?"

Sang Mas'ul berusaha menanggapinya searif mungkin. "Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu. Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya. Apakah antum menyampaikan ini kepada pembina antum untuk diseriuskan. Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari per-nyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah???" Mas'ul tersebut membuat penekanan substansial. "Akhi... bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron, atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansidakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT Petasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan".

Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?
Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rasulullah saw dan jalan meraih Ridho Allah SWT

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rasulullah, dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya, dan berkahlah amal yang terwujud oleh perasaan cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenanya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika ikhwan mulai tergetar hatinya terhadap akhwat, dan demikian sebaliknya, ketika itulah cinta 'lain' muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang kita bahas kali ini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yang jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis, adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif'yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda Kartini, "...akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada di samping seorang laki-laki yang cakap... lebih banyak kata saya... daripada yang dapat saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri..."

Cinta memiliki dua mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama, dan sisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yang sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta.' Jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan, adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta di atas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadian manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta di dewakan, dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa, dan eksploitasi ketujuran manusia. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan ke Surga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat di sana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah berbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, buah dakwah yang kita gagas. Sudah banyak potret keluarga baru dalam masyarakat yang kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik 'asing' dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi, dan nuansa cinta kita masih terkesan 'misteri'. Pertanyaan sederhana, "Gimana sih, kok kamu bisa nikah dengannya, padahal kan baru kenal. Emang kamu cinta sama dia?", dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan 'Nikah dulu Baru Pacaran' masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, "Bagaimana caranya, emang bisa?". Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi, dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wajah yang berbeda. Memberikan alternatif bagi masyarakat untuk melihat cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada Sang Penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan, dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak.

Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton, dan seabrek romantika yang berdiri di atas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakat tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan kepada akhwat, tentang perhatian seorang akhwat kepada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat, dan tentang landasan dan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak di buka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyettainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Epilog
Setiap kita yang mengaku putra putri Islam, setiap kita yang berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fii sabilillah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rasulullah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang amanah dakwah kita. Dengan perasaan inilah kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.
Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong-menolong dalam kebaikan. Dengan cinta itu juga meteka menghiasi bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat tersebut dengan lahirnya anak-anak shaleh yang mem-beratkan bumi dengan kalimat Laa ilaaha illallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Jadi... sudah berani Jatuh Cinta...?

Wallahu 'alam.

Selasa, 26 Mei 2009

Seminar Politik bersama Prof Eko Prasodjo

Pemilihan Umum atau biasa dikenal dengan istilah Pemilu merupakan instrument demokrasi yang mestinya ada dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam sistem pemilu di Indonesia, rakyat memilih wakil-wakilnya atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan calon legislatif (caleg) untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemilu menurut para pakar sosiologi adalah social choice dimana itu adalah hak yang tidak boleh dipaksakan.
Namun dalam suatu sistem pasti memiliki kelebihan dan memiliki pula kelemahan. Sedang dalam demokrasi sendiri, kelemahannya adalah pilihan masyarakat tergantung oleh pilihan / suara yang terbanyak. Sehingga akan tercipta suatu keadaan dimana kekuasaan dan harta memegang penting peran dalam mempengaruhi suara pemilih.
Sebuah statement dikeluarkan oleh Pof. Eko Prasojo, bahwa kebangkitan Indonesia ini akan tercermin pasca pemilu 2009 nanti yang tinggal menghitung hari. Berikut dipaparkan oleh Prof. Eko dalam sebuah diagram.
Jadi menurut Prof. Eko Prasojo, kebangkitan Indonesia akan terwujud apabila partisipasi masyarakat dalam hal menggunakan hak pilihnya dalam pemilu nanti sangat berpengaruh, namun bukan sembarang pilih, tapi masyarakat sebelum memilih juga turut aktif memberi pengawasan dan pengontrolan atas para calon-calon wakilnya kelak yang akan dipilihnya. Prof. Eko juga menambahkan bahwa control masyarakat tidak berhenti lantaran kedaulatan telah diserahkan mandatnya kepada para wakil-wakilnya, namun masyarakat juga aktif mengontrol mereka-mereka yang menjadi wakil-wakilnya.
Kemudian dalam hubungannya antara hubungan sosial ekonomi dengan demokrasi yang dikutip dari buku karangan JS Mill & RA Dahl, bahwa ketimpangan sosial ekonomi merupakan halangan utama dan terbesar bagi terwujud baiknya demokrasi dan persamaan politik dalam suatu negara. Sebagai contoh adalah Singapura. Ketika PM Lee Kuan Yew memulai tampuk kepemimpinannya, ia bertanya kepada masyarakat Singapura. Manakah yang harus didahulukan, apakah pembangunan ekonomi ataukah politik. Dan ketika itu rakyat singapura memilih pembangunan ekonomi. Alhasil rentang beberapa kurun waktu seiring dengan mantapnya perekonomian Singapura, maka perpolitikan di Singapura pun mantap dan disegani banyak negara.
Ketika orde baru (orba) yang dipimpin oleh Alm. Soeharto, pembangunan nasional menitikberatkan pada pembangunan pada sektor ekonomi dan sosial, namun tanpa transparansi yang memadai, sehingga banyak penyelewengan atas pembangunan tersebut. Sehingga ketika reformasi digulirkan oleh mahasiswa pada tahun 1998, arah pembangunan pun berubah ke pembangunan demokrasi dan politik. Namun ada satu hal yang menarik dan perlu dicatat, yaitu adalah tensi / tekanan politi pada era orba dan reformasi ini, lebih besar daripada tensi / tekanan ekonomi. Sehingga rakyat lebih tertekan karena kekuatan kepentingan politik daripada desakan ekonomi.
Kembali kepada permasalahan pemilu. Menurut Prof. Eko, bahwasanya pemilu adalah sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat untuk memilih wakilnya di lembaga negara agar untuk mencapai tujuan-tujuan negara, yang dalam hal ini tujuan negara Indonesia sudah termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV yang berbunyi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut andil bagian dalam kegiatan perdamaian dunia.
Dalam pemilu di Indonesia, terbagi dalam dua kategori, yaitu memilih wakil di parlemen dalam badan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan memilih calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan beberapa lembaga tinggi negara, yang ada di Indonesia saat ini adalah :
• Majelis Permusyawaratan Rakyat / MPR
• Dewan Perwakilan Rakyat / DPR
• Dewan Perwakilan Daerah / DPD
• Mahkamah Konstitusi / MK
• Mahkamah Agung / MA
• Badan Pemeriksaan Keuangan / BPK
• Presiden
Sebagai tambahan adalah sistem ketatanegaraan di dunia ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu unicameral dan bicameral. Unicameral adalah sebuah sistem ketatanegaraan dimana parlemen merupakan satu-satunya lembaga perwakilan rakyat yang dipilih rakyat untuk mewakili fungsi legislatif. Sedangkan bicameral adalah sistem ketatanegaraan dimana ada parlemen bukanlah satu-satunya lembaga yang dipilih oleh rakyat. Dan di Indonesia memakai sistem bicameral ini.
Kemudian tentunya kita harus mengetahui kedudukan dan wewenang dari masing-masing lembaga tinggi negara tersebut, agar kita semakin paham dan tahu akan seluk beluk ketatanegaraan yang dianut oleh negara kita.
Yang pertama adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat / MPR. Kedudukan dari MPR antara lain adalah :
 Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD
 Dapat melakukan sidang jika setengah atau lebih dari jumlah anggotanya menyetujui.
Sedangkan wewenang MPR adalah :
 Memberhentikan presiden atau wakil presiden
 Merubah Undang-Undang Dasar
 Mengesahkan hasil pemilu
 Membubarkan partai politik
 Mengangkat sumpah presiden atau wakil presiden
Kemudian yang kedua adalah kedudukan dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat / DPR. Antara lain yaitu :
 Merancang dan membuat Undang-Undang
 Melakukan pengawasan terhadap pemerintah
 Menetapkan RAPBN menjadi APBN
 Memilih 3 hakim di Mahkamah Konstitusi
 Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan
 Memilih anggota KPU, KPK, …
Yang berikutnya adalah Dewan Perwakilan Daerah, yang memiliki kedudukan dan wewenang sebagai berikut :
 Menjadi “kamar kedua’ dari struktur parlemen
 Memiliki hak untuk mengajukan dan ikut membahas Undang-Undang, namun sebatas pada UU yang berhubungan dengan kedaerahan, semisal UU Perda, UU Pemanfaatan SDA, UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, dll.
 Secara umum hak anggota DPD bersifat konsultatif
 Setiap propinsi terdapat 4 wakil DPD yang mengajukan diri secara personal, bukan atas dukungan parpol.

Yang berikutnya lagi adalah Mahkamah Konstitusi / MK. Hakim dari Mahkamah Konstitusi terdiri dari 9 hakim yang dipilih oleh 3 lembaga yang berbeda, yaitu 3 hakim yang dipilih oleh DPR, 3 hakim yang dipilih oleh MA, dan 3 hakim terakhir dipilih oleh presiden. Sedangkan wewenang dari MK sendiri yaitu adalah :
 Menguji kesesuaian UU dengan UUD 1945 atas permohonan seseorang
 Memutus perkara hasil pemilu
 Memutus perkara konflik lembaga negara
Menurut pendapat Prof Eko, keberadaan MK ini sebenarnya adalah sebuah fakta atas sebuah “defisit demokrasi” dimana seharusnya lembaga MK ini tidak perlu ada. Kenapa? Karena MK bisa membatalkan / mencabut UU yang sudah disahkan oleh DPR jika menurut hakim MK, UU tersebut kontradiksi dengan UUD 1945. Namun beliau menambahkan bahwa MK ini sangat dibutuhkan di negara-negara dimana demokrasinya masih kacau balau.
Berikutnya adalah presiden. Dasar pertimbangan pemilihan presiden dan wakilnya dengan cara langsung (langsung dipilih oleh rakyat, ed) adalah :
• Presiden terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat
• Presiden tidak terikat dengan konsesi-konsesi partai-partai / faksi-faksi politik
• Sistem ini lebih akuntabel karena rakyat tidak harus menitipkan suara kepada MPR
• Kriteria dasar pemilihan ditentukan langsung oleh rakyat
Ada yang harus digaris bawahi dalam hal ini, yaitu peran partai politik untuk pembangunan perpolitikan bagi rakyat. Sesungguhnya partai politik memiliki tiga fungsi utama, yaitu pertama, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat; kedua, mengkalkulasikan kepentingannya; dan ketiga adalah mengintegrasikan kepentingannya untuk kepentingan rakyat. Namun sejauh pengamatan Prof Eko tidak ada atau mungkin belum ada yang melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Nah, yang menjadi fenomena controversial adalah munculnya calon-calon wakil rakyat yang berasal dari kalangan artis / selebriti yang notabene-nya sudah popular. Sedangkan sudah atau belumnya mereka mendapatkan pendidikan politik oleh parpol pendukungnya masih dipertanyakan. Lalu, bagaimana mau memperjuangkan kepentingan rakyat, jika calegnya tidak diberi pendidikan perpolitikan?
Berikutnya adalah permasalahan yang paling krusial dari sistem perpolitikan di Indonesia. Sebenarnya apa sih permasalahan atau problem yang terjadi sehingga menghambat pembangunan perpolitikan di negeri ini. Berikut adalah faktor-faktor yang menyebabkannya.
• Sistem presidensiil tidak optimal, karena sistem ini menjerumus pada semua kebijakan presiden tergantung pada parpol pendukung presiden
• DPR tidak memiliki check & balance yang kuat terhadap presiden
• DPD tidak efektif, bahkan cenderung tidak berfungsi alias mubadzir
• Parpol tidak melakukan fungsi yang seharusnya
• Keberadaan MPR menimbulkan pertanyaan, karena anggotanya adalah anggota dari DPR dan DPD. Prof Eko member usul agar MPR tidak bersifat permanen, namun bersifat joint session semata ketika ada permasalahan incidental yang perlu diselesaikan oleh fungsi MPR
• Biaya pemilu dan pilkada sangat mahal
• Tensi politik sangat tinggi dalam pemerintahan (arisan tender, ed) dimana ketika pemilu sang calon diusung oleh koalisi partai-partai, sehingga masing-masing partai meminta porsi
• Kooptensi birokrasi oleh parpol
• Shadow government
• Kapitalisasi politik dan ekonomi
 Yang perlu diperbaiki / dirombak adalah SDM / orang-orang yang ada dalam kelembagaan tersebut.
Ketika pembangunan politik tidak berjalan lancer, maka dampak bagi pembangunan di sector perekonomian adalah :
• Pengeluaran negara (public spending) hanya untuk kalangan tertentu saja, yang dalam hal ini adalah kalangan elit saja.
• Gagal melayani publik utamanya melayani rakyat miskin
• Kualitas pelayanan public bagi rakyat miskin kalaupun ada sangatlah buruk dan tidak optimal
• Ketimpangan atau jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin tinggi
• Kekayaan negara tidak dinikmati oleh bangsanya sendiri
Sedangkan prediksi dari Prof Eko akan keadaan bangsa Indonesia pasca pemilu 2009 adalah :
• Kualitas demokrasi hanya berjalan di tempat / stagnan malah cenderung turun, karena tidak berjalannnya fungsi elemen-elemen perpolitikan
• Pemilu 2009 hanya akan milik partai-partai besar dan partai lama, seperti PDIP, Golkar, PPP, PAN, PKB, PKS, dan Partai Demokrat. Dan mungkin yang perlu diperhitungkan juga adalah Partai Gerindra.
• Parliamentary Treeshould yang mematok 2,5 % suara bagi partai yang ingin masuk ke parlemen akan menyingkirkan partai-partai gurem / kecil
• Yang menjadi presiden adalah elit lama.
• Koalisi permanen sulit terbentuk karena tidak ada basis / platform / idiologi yang jelas dari parpol-parpol peserta pemilu
• Banyaknya parpol yang mendukung presiden terpilih menyebabkan arisan tender
• Pasca pemilu 2009, tidak akan menghasilkan perubahan yang radikal.

Minggu, 24 Mei 2009

Asal-Usul Nama Indonesia

Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan).
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang) nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi(Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia.

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa
Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”.

Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.

Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”.

Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).

Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).

Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah(kerendahan peradaban) itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.

Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke.

Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74,Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain.
Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: …. the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama ” Indonesia “agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama ” Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah ” Indonesia ” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah ” Indonesia ” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch- Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu daritulisan- tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakanistilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula- mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggotaVolksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.