Rabu, 27 Agustus 2008

ORDE BARU ALA REKTORAT UI

Banyak mahasiwa baru yang terlunta-lunta karena tidak segera bisa menempati asrama. Terutama mereka yang berasal dari luar Jawa – Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lain-lain –. Apalagi, mereka yang tidak memiliki sanak saudara, atau bahkan senior waktu SMA yang kuliah di UI.

Jika sebelum-sebelumnya, setelah mahasiswa baru mendaftar ulang, mereka langsung bisa mendapat jatah kamar di asrama. Namun, kali ini berbeda sama sekali. Semua kebijakan dan penjatahan siapa yang berhak tinggal di asrama diserahkan ke mahalum tiap-tiap fakultas. Sehingga, tentu saja, keputusan mereka mendapat hak atau tidak itu, baru keluar bersamaan dengan selesainya proses penilaian berkas-berkas pengajuan keringanan biaya kuliah. Yang itu sendiri, baru selesai sekitar satu minggu dari waktu pendaftaran ulang. Ini menyisakan pertanyaan, di mana mereka (yang di sebut di awal tulisan ini) akan tinggal?

Sejenak mungkin kita bisa menerima alasan rektor(at) mengalihkan wewenang penentuan siapa-siapa saja yang berhak tinggal di asrama dari otorita asrama ke mahalum fakultas. Katanya, dari proses seleksi berkas pengajuan keringanan biaya kuliah, bisa diketahui secara pasti siapa yang paling berhak tinggal di asrama. Intinya, tujuan diadakannya sentralisasi ini, agar seleksi calon penghuni asrama bisa tepat guna. Katanya pula, disinyalir, selama ini, banyak penghuni asrama berasal dari Jabodetabek atau mahasiswa dari keluarga mampu. Sehingga, hal ini dinilai tidak tepat guna dan perlu dibenahi dengan pengalihan wewenang.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah efek kebijakan yang akan dilakukan ini sebanding dengan terlunta-luntanya mahasiswa baru yang tidak punya siapa-siapa di sini? Jawabannya tidak! Bayangkan, mereka yang tidak mampu harus menunggu selama lebih kurang satu minggu untuk mendapat keputusan bisa tinggal di asrama atau tidak. Padahal, seperti kita tahu, tidak ada kos-kosan atau kontrakan yang mau menyewakannya hanya dalam seminggu. Artinya, selama itu pula, harus di mana mereka tinggal? Belum lagi, ternyata terbukti sampai hari ini, tetap saja pengalihan wewenang ini tidak menghasilkan keputusan yang benar-benar tepat. Misalnya, ada mahasiswa baru yang dari sisi apapun dia berhak tinggal di asrama, tetapi dari pihak mahalum fakultas tidak dapat hak itu. Terbukti pengalihan wewenang ini tidak menyelesaikan masalah.

Padahal, jika berbicara masalah tepat guna atau tidak, sebenarnya di asrama akan terjadi proses seleksi alam dengan sendirinya. Artinya, jika mereka yang memaksa tinggal di sana adalah anak dari keluarga mampu, seiring berjalannya waktu, mereka tidak akan kerasan juga, dan akhirnya memilih keluar dan tinggal di tempat yang lebih cocok sesuai dengan kebiasaan di rumahnya. Jadi, tidak perlu dengan mengadakan sentralisasi kewenangan seperti itu. Toh, efeknya jauh lebih menyulitkan, tidak hanya bagi mahasiswa baru, tetapi juga untuk keluarga atau tamu yang akan menyewa kamar di asrama. Dan, toh, selama ini juga tidak ada masalah dengan koordinasi yang dilakukan oleh otorita asrama sendiri dalam hal penentuan dan pembagian calon penghuni kamar asrama. Kesulitan saat ini bermula karena semua bentuk perizinan dan persetujuan dilakukan di rektorat oleh direktur fasilitas umum.

Kita melihat adanya gejala sentralisasi di UI. Kasus asrama hanya satu contoh kasus, selebihnya masih banyak lagi. Apakah ini mengindikasikan UI tengah menerapkan metode Orde Baru di kampus ini? Mari kita awasi bersama-sama.


Tidak ada komentar: